Kamis, 28 Juli 2011

PB PMII Gencar Antisipasi Gerakan Radikalisme Agama di Kampus


Padang, NU Online
Radikalisme agama sudah merambah wilayah kampus yang sebelumnya bergerak di luar kampus. Kampus dipandang sebagai lembaga yang cukup efektif untuk kaderisasi serta penyebaran gagasan Negara Islam Indonesia (NII). PB PMII sebagai salah satu kekuatan mahasiswa di Indonesia mengimbau seluruh elemen kampus, rektor, dekan, dosen dan mahasiswa mengantisipasi gerakan ini. Sehingga ancaman terhadap kelangsungan NKRI tetap terjamin.

Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Indonesia Indonesia (PB PMII) Addin Jauharuddin kepada NU Online di Padang, Kamis (28/7/2011) menyebutkan, antisipasi gerakan NII di kalangan kampus, PMII gencar melakukan kegiatan di kampus. Diantaranya Dialog Kebangsaan dan Konsolidasi Nasional PB PMII dengan tema Menuntaskan Hubungan Islam dan Pancasila yang digelar Jumat (22/7/2011) lalu di aula LPMP Komplek UNP Padang.

Dialog tersebut menampilkan pembicara Gubernur Sumbar Prof Dr H Irwan Prayitno, MSc, Ketua PBNU Prof Dr H Maidir Harun, dan Ketua Umum PB PMII.  Kegiatan dihadiri oleh PC PMII Se-Sumatera Barat, OKP dan BEM di Kota Padang.

Menurut Addin, PMII sebagai organisasi kader selalu menamankan sikap moderat yang berprinsip tawassut dan berpihak pada keadilan dan meghindari pendekatan yang ekstrim. PMII juga mengedepankan sikap tasammuh yang berintikan penghargaaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Ketiga adalah sikap tawazun yaitu sikap seimbang demi tercapainya keserasian hubungan antar sesame manusia dan antara manusia dan Allah Swt.

Dikatakan Addin, selain itu, PB PMII melakukan roadshow ke kampus dalam bentuk talk show dengan misi menjaga keutuhan NKRI, dengan tema menuntaskan hubungan Islam dan Pancasila, radikalisme agama sudah merambah wilayah kampus, dan merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI. Gerakan tersebut bercita-cita mengganti ideologi negara, sekarang ada organisasi yang mempunyai karakter radikal dan bergerak sembunyi-sembunyi serta sistematis. Gerakan radikalisme agama ini muncul disebabkan oleh pemahaman agama yang eksklusif yang ada dalam sebagian umat Islam.

“Pertanyaannya, mengapa gerakan radikalisme berkembang di Indonesia. Karena pemerintah tidak serius menjalankan amanah UUD 1945. Pemerintah gagal dalam mensejahterakan masyarakat, fenomena kemiskinan yang semakin parah dan semakin membuat gerakan radikalisme ini tumbuh subur, dan korupsi merajalela di berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Addin menambahkan.

Dialog Kebangsaan tersebut juga dihadiri Ketua PWNU Sumbar Ir H Khusnun Aziz, MM, Sekjen PB PMII A Jabidi RItonga, Bendahara Afnan Hidayat,  Ketua Bidang Aparatur Luhamul Amani, Ketua Bidang Perguruan Tinggi Heruddin PB PMII dan Ketua Lembaga URT Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Indonesia Indonesia (PBPMII) Ulil Amri.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Bagindo Armaidi Tanjung

disunting kembali oleh: alie munthobib Kader PMII Metro Lampung

Kamis, 21 Juli 2011

Sejarah "Hitam" Kaum Wahabi

Oleh: MN Harisudin

Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma' had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam'iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.

Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.


***

Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)

Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur'an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt.

Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir'iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid'ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.

Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur'an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau'idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.

Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.

Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam.

***

Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid'ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.

Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam'iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.
Wallahualam. **

* Wakil Sekretaris PCNU Jember, Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdaltul Ulama Jember, PW Lajnah Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila Group.

Minggu, 18 April 2010

INDONESIA SAMPAI HARI INI


Dalam perjalanan sejarah, Indonesia sejak kelahirannya tidak pernah berhenti untuk berjuang untuk melepaskan diri dari penjajah, baik itu penjajah yang bersifat ingin menguasai negeri, rempah-rempah, kekayaan alam maupun sumber daya manusianya. Bahkan sampai hari ini Indonesia masih menjadi incaran negara-negara yang ingin menguasai kekayaan alamnya.

Namun, kemerdekaan yang telah diraihnya itu kini telah dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab memelihara kemerdekaan bangsa, pejabat-pejabat yang hanya memikirkan perutnya sendiri, tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat demi bangsa. Ini patut disayangkan, karena Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alamnya sampai saat ini hanya beberapa persen yang dikelola oleh negara.

Di banyak daerah di Indonesia, banyak terjadi diskriminasi hukum, ketidakstabilan keamanan, bahkan pengangguran yang makin hari makin bertambah bukan semakin berkurang. Itu semua disebabkan oleh tangan-tangan pemimpin yang tidak bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya yaitu daerah yang ia pimpin.

Mungkin memang belum saatnya Indonesia mencapai kesejahteraan, namun bukan tidak mungkin untuk kita bangkit dari keterpurukan yang berkepanjangan ini.



Mari kita sebagai generasi penerus, kita buktikan bahwa kita juga mampu, kita bisa, dan kita dapat bersaing dengan negara-negara maju di dunia karena kita bangsa yang besar dan kuat.

Minggu, 11 April 2010

NU telah terkotori oleh rezim Wahabi

Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi Islam terbesar di Indonesia (NU) kini telah terkotori oleh rezim wahabi yang di bawa oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di Arab Saudi. Tanpa mereka sadari bahwa otak mereka telah dicuci oleh laskar-laskar Wahabi yang secara tidak langsung telah merusak aqidah yang telah tertanan dari sejak kecil (sejak belajar islam pertama kali di Indonesia).

Namun dalam perkembangannya, sejak tahun 1998 atau semenjak bermunculan banyak partai politik, tanpa kita sadari faham yang didirikan oleh Imam bin Abdul Wahab yang akhirnya di bawa oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di Arab Saudi telah teken kontrak dengan salah satu partai politik Indonesia yang ber-asas-kan Islam. Wajah baru tersebut ternyata sukses mengambil hati banyak orang di Indonesia.

Demikian sekilas perjalanan masuknya faham wahabi dari Arab Saudi ke Indonesia, untuk lebih jelasnya silahkan anda download buku yang berjudul "ILUSI NEGARA ISLAM" dengan prolog KH. Syafi'i Ma'arif dan epilog KH. Abdurrahman Wahid (GUS DUR) yang diterbitkan oleh LibbForAll yang melakukan penelitian di Indonesia selama 2 tahun.